![Cowardise [Prologue]](https://www.pulsk.com/images/2014/11/12/5462dd70bac7f_5462dd70bc8fa.jpg)
Cowardise,
Coward's Paradise
A story about a place
For you who want to hide,
For you who's looking for a shelter
For you who want to be brave enough to say you're a coward
A story about a girl
Who life in ocean of human,
But her mind never step on the earth
A girl who try to find enough courage to stay in life-beeing's world
A story about an android
Who life thanks to human,
and deactivated by human
An android who try to encourage himself to hate or love human
Finally,
A story that re-tell someone's Cowardice and Bravery
Their past that lies in our future
And,
This is [Not] just a prologue
_______________________________________________________
“Urgh...â€
Akhirnya, terdengar erangan malas dari mulut sang gadis yang sudah mengatupkan mulutnya selama berjam-jam. Dilepasnya kacamata bingkai tipis yang dari tadi dia rasa menusuk pangkal hidungnya.
“Ah...†gumam gadis itu pada dirinya sendiri, “Kukira itu suara punggungku, ternyata suara kursi.†Terdengar nada geli dalam suaranya yang menggema dalam ruangan tak berpenghuni, kecuali dia sendiri.
“Huaaahm... urgh,†lagi-lagi tangan gadis itu terangkat, kali ini untuk menutup mulutnya yang menguap. Terlihat malas, matanya melirik ke arah satu-satunya sumber cahaya dalam ruangan tersebut, yaitu laptop yang sesekali berkedip di hadapannya. Sebuah file document terpampang di layar komputer jinjing tersebut, page putihnya dipenuhi deretan kalimat yang diketik sang gadis.
Deretan kalimat di hadapannya terlihat mengabur sesaat, membuat gadis itu menyipitkan matanya. Mendesah napas pelan, tangan kiri gadis itu menggerakkan mousenya untuk me-scroll dokumen di hadapannya sembari mengoreksi hasil ketikannya. Ya, gadis itu kidal—dominan kidal. Pada kenyataannya gadis itu bisa menggunakan kedua tangannya dengan seimbang.
Kelereng cobalt gadis itu menelusuri kata demi kata dengan cepat, penuh kejelian mencari kesalahan yang mungkin ada dalam laporannya. Karena ini salah satu keahliannya, dengan cepat dia menyelesaikan skimming dan scanning yang dilakukannya. Setelah menghela napas lega karena tidak menemukan kesalahan yang berarti, gadis itu merenggangkan tubuhnya dan menggeliat pelan.
Garis hitam yang samar bisa terlihat di bawah kelopak mata gadis itu saat dia menutup matanya. Sejenak, ruangan itu dipenuhi keheningan yang terasa akrab bagi gadis itu. Desau napasnya yang teratur bisa terdengar, satu-satunya suara dalam ruangan itu.
-beep-bip-bop-beep-bip-
Setelah mengerjap beberapa kali, kelereng cobalt gadis itu mengintip lewat sela-sela surai hitam yang menutupi matanya, mencari sumber suara tersebut. Pandangannya mendarat pada jam digital yang bertengger manis di atas meja kerjanya. Lampu LED jam tersebut menerakan ’05.00 PM’, jam 5 sore.
Pelan-pelan gadis itu bangkit dari kursinya dan berdiri, merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku. Setelah beberapa saat, dia berjalan ke arah jendela dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menyenggol tumpukan buku dan dokuman yang berserakan di lantai. Kedua tangannya terulur untuk menyibak tirai hijau pucat yang membingkai jendelanya, membiarkan semburat jingga mentari sore memasuki kamarnya.
Lagi-lagi gadis itu menghela napas saat berbalik dan menyandarkan punggung ke dinding di sebelah jendela yang baru saja dia buka, kelereng kobalt nya menyapu seisi ruangan yang dia jadikan kamar. Seprai kasur yang kusut karena tidak dirapikan, buku, kertas, dan dokumen-dokumen yang berserakan di lantai, tempat sampah yang penuh barang-barang tak terpakai—kertas, plastik, tisu—semuanya mencuat keluar karena sudah tidak muat. Benar-benar berantakan.
Untuk menyelamatkan matanya dari pemandangan yang sama mengerikannya dengan kapal pecah itu, sang gadis mengalihkan pandangannya ke meja kokoh di seberang kasurnya, meja yang dia pakai sebagai meja kerja. Laptop yang dari tadi dia ajak adu kontes ‘tatap’ itu masih menyala, sesekali berkedip dan menampilkan screen saver berupa foto-foto gedung menjulang yang diselimuti tanaman merambat nan hijau.
Jam digitalnya masih bertengger di tempat yang sama, tidak bergerak barang satu mili. Lampu LED merahnya berkedip tiap kali berganti menit, menampilkan jumlah waktu yang dihitung. Beberapa dokumen juga bertebaran di atas meja tersebut, tapi setidaknya lebih rapi dibandingkan yang ada di lantai. Beberapa blue print menyembul diantara dokumen-dokumen tersebut, ujungnya bergoyang-goyang di hembus angin sore.
Akhirnya sepasang kelereng kobalt itu berhenti pada sebuah pigura seukuran kartu pos, berdiri kokoh di sebelah jam digital. Framenya terbuat dari aluminium, dengan ukiran berbentuk sulur anggur yang mengelilingi foto di tengahnya. Terlindungi kaca bening, terpampang sebuah foto yang menangkap 6 orang tengah berpose, tersenyum pada kamera.
Gadis itu mengenali sosok ketiga dari sebelah kiri, seorang gadis yang berdiri tegak dengan tangan bersidekap. Senyum samar menghiasi wajah gadis dalam foto itu, yang tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri. Rambutnya saat difoto sedikit lebih pendek dari sekarang, tapi tidak ada lagi perbedaan yang berarti. Mata kobaltnya yang jernih dengan tajam menatap lensa kamera, trench coat cokelat kesayangannya tersampir di tangannya. Agak geli juga dia ketika menyadari bahwa dia memakai baju yang sama dengan baju yang dia pakai saat di foto, kaus biru navy berkerah dengan dalaman putih polos. Kacamata peraknya nampak menyembul dari saku celana.
Dalam foto itu, nampak seorang gadis belia memeluk lengan kirinya dengan sikap manja. Rambut gadis itu berwarna magenta, diikat rapi ke sebelah kanan. Beberapa jepit perak menahan poninya di tempat dengan rapi. Gadis itu mengenakan baju khas perawat—tidak, bukan baju perawat putih dengan rok mini. Melainkan baju perawat berwarna hijau pucat, benar-benar pucat, nyaris putih dengan lengan panjang, dipasangkan dengan celana. Masker medis yang juga berwarna hijau terikat longgar di telinganya, tergantung di bawah dagu.
Seakan menjadi partner gadis itu, di sebelahnya seorang pria berdiri tegak, dengan raut khas mereka yang berada di awal usia tigapuluhan. Rambutnya brunette, dipotong pendek dan rapi. Kenapa dia terlihat seperti pasangan dari gadis yang memeluk lengannya? Sederhana. Pria itu mengenakan setelan jas khas dokter, lengkap dengan stetoskop menyembul dari sakunya.
Berdiri di ujung kanan, seorang pemuda jangkung berdiri dengan gestur anggun. Wajah pucatnya menyunggingkan senyum tipis yang agak kaku, namu kelereng biru pucatnya terlihat lembut dan ramah. Surai rambutnya berwarna putih perak, entah bagaimana berpendar biru lembut. Pemuda itu mengenakan tunik khas china berwarna putih, sulaman naga bersisik biru pada coraknya nampak hidup.
Bergeser ke sebelah kiri pemuda berambut putih itu, nampak dua remaja pria yang sepertinya kembar. Melihat kedua remaja itu, sudut bibir gadis bermata cobalt itu tertarik mengulas senyum. Tidaklah salah jika menyebut mereka kembar, mereka benar-benar mirip, kecuali setelan yang mereka pakai. Yang berdiri di sebelah kiri mengenakan setelan semi-formal, rompi hitam dari satin dengan kemeja putih bergaris tipis. Senyum ceria terpampang di wajahnya yang bisa dibilang kelewat manis untuk laki-laki, dihiasi rona merah pertanda senang. Kedua tangan rampingnya nampak mendorong halus bahu pemuda lain yang jelas terlihat malu difoto. Seperti pemuda yang mendorong bahunya, pemuda bermata biru pastel itu berambut pirang susu. Di bahunya tersampir syal lebar berwarna senada dengan matanya, menutupi sweater abu-abu yang dia kenakan.
Sosok terakhir, berdiri di sebelah kanan sang gadis. Rambut pirang dengan hightlight hijau pemuda jangkung itu terkesan acak-acakan, khas orang baru bangun tidur. Raut wajahnya terlihat bosan, kelereng hijau beningnya menatap kamera dengan sorot mata yang tegas, seakan-akan memandang rendah segala sesuatu. Namun, sudut bibir pemuda itu terangkat ke atas, mengulas senyum cemerlang. Tangan kanannya tersampir pinggangnya sendiri, terkesan penuh kepercayadirian.
Gadis berambut hitam itu terkekeh pelan saat melihat baju hijau pucat khas pasien yang dipakai pemuda itu dibalik jaket denimnya. Dia tahu pemuda itu cuek terhadap penampilannya, tapi, yang benar saja. Baju pasien untuk berfoto? Gadis itu tidak dapat menahan tawanya lagi.
“Aah...†masih tertawa lirih, gadis itu melirik jam digital di atas meja kerjanya untuk yang kesekian kali. Derai tawanya berhenti, kini kelereng cobaltnya nampak kesepian. Tanpa suara, diraihnya tas selempang yang tergeletak di kasurnya, mulai memasukkan dokumen-dokumen yang dianggapnya perlu dia bawa, telepon genggam, dompet, dan terakhir, laptopnya. Menghela napas pelan, gadis itu mengambil trench coat kesayangannya dari gantungan baju.
Tubuh rampingnya sudah terbalut trench coat coklat saat dia mengedarkan pandangan terakhir ke tiap sudut ruangan. Agak tergesa-gesa, diambilnya kacamata berbingkai tipis yang nyaris saja dia tinggal di atas meja. Setelah yakin kalau tidak ada lagi yang tertinggal, gadis itu menyampirkan tasnya di bahu, membuka pintu kamarnya dan berjalan keluar.
“Cowardise, Coward’s Paradise. I’m coming, again and again.†Berbisik pada dirinya sendiri, gadis itu menutup dan mengunci pintu apartemennya, mengambil langkah pasti menuju tujuannya.